God, Chance and Necessity

Rabu, 29 April 2009 | Coretan
Kemarin sempat membuka kembali buku-buku lama yang ada di kamar. Dan bertemu dengan salah satu buku yang saya beli pada masa SMA, judulnya "Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu", yang merupakan edisi terjemahan Indonesia dari buku "God, Chance and Necessity" karya Dr. Keith Ward, seorang profesor teologi di Universitas Oxford. Judul Indonesia tersebut diambil dari ungkapan metaforik Einstein ketika ia menolak ketidakpastian yang ditemukan oleh Werner Heisenberg, salah seorang perumus komprehensif pertama teori kuantum.

Pengantar dari Armahedi Mahzar, filosof-fisikawan pengarang Integralisme, mungkin dapat memberi gambaran tentang isi buku tersebut. Ada beberapa bagian yang saya potong untuk memperingkas, walau masih tetap panjang ^_^

Paradigma Materialisme Ilmiah: Kepastian atau Ketidakpastian?

Baik teori relativitas maupun teori kuantum, keduanya memiliki implikasi yang dahsyat pada pemikiran filosofis manusia tentang dirinya dan alamnya. Teori relativitas berujung pada gambaran bahwa alam semesta terbatas dalam ruang dan berkembang meluas tak terhindarkan, bermula pada suatu peristiwa besar ketika jagat raya lahir dalam suatu dentuman besar. Teori kuantum berujung pada gambaran bahwa pada skala terkecil benda-benda, termasuk jagat raya di awal hidupnya, peristiwa-peristiwa fisik merupakan kebetulan tanpa sebab.

Teori relativitas berujung pada keniscayaan atau kepastian, sedangkan teori kuantum berujung pada kebetulan atau ketidakpastian. Kedua teori itu berujung pada bangkitnya kembali perdebatan antara aliran determinisme (serba-pasti) dan indeterminisme (serba-tak-pasti).


Indeterminisme Biologis: Kemerdekaan Manusia dari Keacakan Mutasi Genetik

Dalam pandangan umum sebelum munculnya teori kuantum, satu-satunya ketidakpastian adalah kebebasan manusia, dan ini merupakan keunggulan manusia dari benda dan makhluk hidup lainnya. Teori kuantum meruntuhkan pandangan ini karena semua benda, pada skala terkecil, merupakan lapangan ketidakpastian. Namun, dalam skala besar ketidakpastian dalam skala kecil itu hilang melalui rata-rata statistik.

Dengan demikian, kebebasan manusia adalah suatu paradoks jika dilihat dalam persfektif materialisme. Materialisme telah meninggalkan roh yang merupakan esensi manusia sebagai kebebasannya. Eksistensialisme menggantinya dengan ketiadaan. Dengan demikian, kebebasan manusia setara dengan kebetulan-kebetulan bendawi. Jacques Monod, ahli biokimia Prancis, memperkukuh teori ini dengan meletakkan kebebasan manusia dalam rangkaian kebetulan-kebetulan teori evolusi.

Tampaknya evolusi bologis merupakan proses pendahuluan untuk melahirkan kebebasan manusia. Dengan demikian, paradoks "ketidakpastian dalam kepastian" itu selesai dalam teori evolusi. Evolusi biologis adalah semacam penguat ketidakpastian dalam skala mikroskopik atom ke skala makroskopik manusia.


Indeterminisme Kosmologis: Keberadaan Alam Semesta dari Fluktuasi Vakum Kuantum

Materialisme tetap menemui jalan buntu dalam hal asal-usul jagat raya. Bagi materialisme, keberhinggaan waktu di masa lalu merupakan sebuah paradoks karena mereka berpandangan bahwa materi ada dalam keabadian bersama alam semesta. Solusi mereka terletak pada kenyataan bahwa di awal semesta, ukuran alam raya sangatlah kecil sehingga prinsip ketidakpastian Heisenberg juga berlaku pada keseluruhan alam semesta.

Seorang astronom, Tryon, berusaha menerangkan Dentuman Besar sebagai peristiwa gejolak acak pada kehampaan, tanpa materi dan energi, yang melahirkan pasangan partikel-antipartikel. Biasanya partikel dan antipartikel ini akan lebur kembali. Namun, sebuah perusakan simetri terjadi sehingga jumlah partikel yang terbentuk lebih banyak daripada jumlah antipartikel, lalu menyisakan kumpulan partikel biasa yang kemudian berkembang meluas menjadi sebesar jagat raya yang sekarang.

Gejolak ini disebut fluktuasi vakum yang tanpa sebab. Namun, vakum kuantum adalah kehampaan ruang yang penuh dengan energi. Jadi, tak dapat dikatakan bahwa muncul dari ketiadaan. Belakangan, Stephen Hawking dan James Hartle, mengajukan teori yang lebih radikal. Awal jagat raya bukanlah singularitas yang tajam, melainkan sebuah lengkungan waktu. Artinya, pertanyaan apakah ada waktu sebelum Dentuman Besar, sama kosongnya dengan pertanyaan apa yang ada di utaranya kutub utara bumi.

Secara provokatif, Hawking berkata, "Sejauh semesta memiliki awal, kita dapat mengira ada penciptanya. Namun, seandainya semesta adalah sesuatu yang mandiri, tanpa batas atau ujung, dia tidak memiliki awal dan akhir: semesta hanya sekedar ada. Kalau begitu di mana tempat bagi Sang Pencipta?"


Teisme Melawan Indeterminisme Kosmologis

Dr. Keith Ward melawan indeterminisme materialistik ilmiah itu dengan dua tahap argumentasi logis. Argumentasi pertama meruntuhkan pandangan tentang kemunculan alam semesta dari ketiadaan menurut teori kosmologi kuantum. Argumentasi kedua meruntuhkan pandangan tentang kehidupan menurut teori evolusi Darwin.

Sebenarnya, Ward tidaklah melawan kedua teori itu sebagai teori ilmiah. Dia hanya melawan pandangan materialistik yang digunakan sebagian ilmuwan untuk menafsirkan teori tersebut.

Inti dari argumentasi Ward itu sederhana. Jika memang teori kosmologi kuantum itu benar, timbul pertanyaan: di manakah hukum-hukum alam yang dinyatakan oleh persamaan matematik teori tersebut berada sebelum alam semesta muncul? Tentunya tidak dalam ketiadaan karena hal itu kontradiksi logis. Tak mungkin sesuatu ada dalam ketiadaan.

Oleh karena itu, dengan sendirinya argumentasi kaum materialis justru runtuh karena teori kosmologi kuatum. Karena, menurut mereka, hukum-hukum alam tak lain dari sifat-sifat materi di alam semesta. Teori itu justru memperkukuh pandangan teisme yang mengatakan bahwa alam semesta ada berkat penciptaan Tuhan. Hukum-hukum itu ada dalam pikiran Tuhan.


Teleologi Melawan Indeterminisme Biologis

Ward berargumen, pernyataan bahwa variasi genetik dan seleksi lingkungan adalah acak tanpa tujuan di satu sisi, dan kenyataan bahwa evolusi menunjukkan peningkatan kompleksitas di sisi lain, merupakan satu kontradiksi. Kompleksitas manusia yang berfikir dan kemauan bebas tak mungkin dihasilkan oleh evolusi acak. Kenyataan evolusioner semacam itu hanya bisa dipahami secara logis jika variasi dan seleksi itu mempunyai tujuan.

Tujuan itu adalah terbentuknya jaringan multiseluler dengan jaringan syaraf terpusat yang kemudian membentuk jaringan komunikasi antarpribadi yang sadar dalam interaksinya dengan lingkungan. Jaringan sosial-budaya manusia ini, memungkinkan munculnya pemahaman, pemikiran, kebahagiaan, dan pilihan-pilihan sadar yang bebas dan rasional.

Kesadaran bebas itulah yang menjadi tujuan evolusi semesta. Evolusi biologis hanyalah merupakan perantara bagi evolusi semesta sebagai manifestasi kreatifitas Tuhan dalam pembentukan evolusi kesadaran. Evolusi kesadaran mempunyai tujuan yang lebih jauh lagi, berupa evolusi kebersamaan kesadaran individu-individu itu dalam Kesadaran Semesta yang dalam metafor agama disebut sebagai akhirat.

Menurut Ward, ciri dasar evolusi adalah perubahan bertahap dari keadaan-keadaan tanpa nilai, yaitu molekul-molekul, menuju keadaan ketika nilai-nilai sekaligus diciptakan dan dihayati, yaitu keadaan-keadaan kesadaran manusia. Ciri ini menyarankan adanya tujuan jangka panjang ataupun rancangan besar. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa teori evolusi dan keyakinan tentang Tuhan sebenarnya tidak hanya saling sesuai, tapi juga saling memperkukuh.

Akan tetapi, banyak ilmuwan tidak sependapat dengan itu. Salah satu argumen yang diajukan adalah kenyataan bahwa adanya jutaan spesies yang musnah sebelum munculnya manusia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Tuhan sangat tidak efisien dalam pembuatan manusia melalui evolusi biologis.

Tentang hal ini, Ward menulis, "Apa yang tampak sebagai pelenyapan individu dan spesies yang mubazir, sesungguhnya merupakan cara terbaik mencapai perbaikan bertahap bentuk-bentuk kehidupan organis, tanpa mengizinkan 'intervensi' semena-mena yang dengan ajaib dapat memperbaikinya dari luar sistem".


Logika Melawan Determinisme Ultradarwinis

Richard Dawkins dan Michael Ruse merupakan dua tokoh determinisme bilogis, dan bisa dikatakan sebagai penganut ultradarwinisme. Karena, mereka tidak saja ingin menerangkan fenomena biologi, tetapi juga fenomena budaya termasuk agama dan moralitas, dengan prinsip seleksi alam.

Menurut Ward, Dawkins adalah seorang yang inkonsisten karena ketika menerangkan fenomena manusia, dia mengatakan bahwa hanya manusia yang melawan determinisme genetik. Manusia bebas untuk melawan tirani gen-gen mereka. Namun, kebebasan itu adalah sebuah ilusi karena yang melawan gen itu bukanlah individu manusia, melainkan apa yang disebut sebagai "meme" (dibaca: mem).

Meme adalah analog budaya dari gen yang bersifat biologi. Meme tidak berada dalam molekul DNA, tapi pada konfigurasi syaraf di otak, sebagai informasi yang melompat dari otak ke otak melalui naluri tiru-meniru manusia. Agama, bagi Dawkins, adalah satu meme kompleks yang disebutnya sebagai "virus pikiran".

Dawkins menganggap mutasi meme sebagai mesin evolusi kebudayaan. Sejarah manusia tak lebih dari penggantian atau suksesi dari meme-meme kompleks dari masa ke masa. Meme yang paling sesuai dengan lingkungan budaya manusia yang terus berubah itulah yang akan bertahan.

Dawkins mempunyai gagasan yang sangat radikal, yang disebut sebagai "selfish gene" atau gen egois. Sel dan tubuh organisme merupakan mesin-mesin perang gen yang bersaing satu sama lain. Begitu juga, organisasi dan institusi sosial adalah mesin perang dari meme yang saling bersaing.

Michael Ruse juga adalah seorang determinis, namun tidak seradikal Dawkins. Bagi Ruse, prilaku budaya manusia juga bersumber pada gen, bukan pada meme yang tidak bisa diidentifikasi secara ilmiah. Dia dipengaruhi ilmuwan sosiobiologi yang meniliti prilaku sosial hewan lalu memproyeksikannya pada prilaku budaya manusia. Jadi, akar moralitas manusia bersifat biologis, dan bukan kultural apalagi spritual.

Ward melawan argumentasi ultradarwinisme ini dengan mengatakan bahwa argumentasi tersebut sebagai cacat logika. Sesat-pikir Dawkins terletak pada kontradiksi diri pada pernyataan "keimanan manusia akan Tuhan, yang berdasarkan biologi, itu salah", sedangakan sesat-pikir Ruse terletak pada kesalahan deontologis yang menyamakan antara yang "ada" dan yang "seharusnya".


Kesimpulan

Buku ini dapat dipandang sebagai perlawanan terhadap tafsiran ideologis materialisme mekanistik yang telah dibungkuskan oleh sains modern oleh para penyebarnya dan dianggap sebagai paradigma atau pondasi filosofis sains. Ingat, yang dilawan bukan sains, melainkan interpretasi ideologis yang membungkusnya, atau paradigma filosofis yang mendasarinya.



Komentar

undang.r
30 November 2009 - 06:00:32
Saya nemu situs ini karena lagi nyari2 artikel pembanding tulisan Tommy Awuy:"Teori Evolusi Semakin Meyakinkan", Kompas 29/11/09. Saya berharap ada pakar kompeten yg mengimbangi misalnya dengan membahas pendapat2 Harun Yahya.di koran yg sama.

pencari kebenaran
27 Mei 2012 - 16:53:54
Sains tak bisa diklaim milik satu golongan sebab sains ditemukan oleh manusia dari berbagai golongan dan berbagai bangsa,tapi orang atheist sering membuat klaim paksa atas sains seolah sains ‘milik’ mereka sehingga yang menafsirkan sains diluar cara pandang mereka akan dianggap salah.sains tak bisa ditarik paksa untuk masuk ke ideologi atheistik dan tak ada hubungan langsung antara sains dan atheisme sebab definisi pengertian ‘sains’ adalah ilmu dunia materi yang bisa digunakan oleh manusia dari berbagai kalangan untuk berbagai keperluan hidupnya,termasuk para agamawan yang menafsirkannya sesuai dengan ilmu yang mereka miliki.
Musuh agama sebenarnya bukan sains sebab ‘sains’ (pengertiannya kini) adalah murni ilmu dunia materi,musuh agama adalahideologi atau pandangan atheistik yang ingin menyeret sains agar selalu nampak berbenturan dengan agama melalui ‘teori teori ilmiah’yang berdasar pada fakta yang ditafsirkan sefihak (bukan fakta langsung) spt teori Darwin (tak pernah ada bukti empirik yang langsung membenarkan teori Darwin/ jadi teori ini hanya teori bukan fakta). mereka (saintis atheistik-materialistik) secara paksa selalu mengedepankan teori Darwin untuk mewakili ‘sains’ ketika berhadapan dengan agama padahal sains tak bisa diwakili oleh sesuatu yang hanya teori yang tidak berasas kepada fakta.