Kaidah Fiqih Seputar Diam

Jumat, 19 Desember 2014 | Islam
Ada sebuah kaidah fikih yang dirumuskan oleh ulama:

لا يُنسَبُ إلىَ سَاكِت قوْلٌ
وَلكِن السُكوْت فِى مَعْرَض الحَاجَةِ بَيَانٌ

Suatu perkataan/pendapat tidak dinisbatkan kepada orang yang diam.
Namun, sikap diam pada saat diperlukan (untuk berpendapat) maka itu dianggap sebagai sebuah penjelasan.

Kaidah di atas akan dirinci menjadi dua bagian.[1]

A. Suatu perkataan/pendapat tidak dinisbatkan kepada orang yang diam

Kalimat ini adalah perkataan dari Imam Syafi`i rahimahullah. Maknanya, kita tidak boleh mengatakan bahwa seseorang yang diam itu memiliki pendapat tertentu mengenai suatu hal. Atau dengan kata lain, tidak boleh menisbatkan suatu perkataan/pendapat kepada seseorang padahal seseorang itu tidak mengucapkannya.

Di antara cabang dan penerapan dari kaidah ini adalah sebagai berikut.
  1. Jika A melihat ada "orang asing" yang menjual barang miliknya dan si A diam saja. Maka, diamnya si A ini tidak dianggap sebagai kebolehan untuk menjual atau mewakilkan untuk menjual barangnya.
  2. Jika B melihat ada seseorang yang merusak barang miliknya tapi B diam saja, maka diamnya B tidak berarti izin atas pengrusakannya.
  3. Diamnya seorang istri atas keadaan suaminya yang impoten tidak dianggap sebagai keridhaan istri atas kondisi tersebut walaupun mereka telah hidup bersama selama bertahun-tahun. Jika seandainya di kemudian hari istri menuntut cerai maka suami tidak bisa membela diri bahwa "istri sudah ridha dan hidup bertahun-tahun, kenapa baru menuntut sekarang?".
  4. Dalam Pasal 805 Majalah al-Ahkam al-Adliyah[2] disebutkan, "Diamnya orang yang meminjamkan barang tidak dianggap sebagai qabul (setuju untuk meminjamkan). Seandainya si peminjam meminta untuk dipinjamkan suatu barang namun si pemilik hanya diam, kemudian si peminjam mengambil barang tersebut, maka jadilah ia termasuk merampas. Konsekuensinya, hukum-hukum yang berkaitan dengan perampasan berlaku/diterapkan atas orang tersebut. Di antaranya adalah wajibnya ia mengganti barang tersebut jika rusak secara mutlak (baik itu rusak karena kecerobohan atau tidak)".
Contoh lain, ketika X mengatakan kepada A bahwa ia ingin meminjam tasnya. A hanya diam, dan X langsung mengambil tasnya. Maka, diamnya A ini tidak dianggap sebagai izin. Jika tasnya rusak, walaupun karena kecelakaan yang tidak disengaja, maka X tetap wajib mengganti tas tersebut.

Berbeda jika sudah ada pernyataan izin dari A, dalam keadaan seperti itu X tidak wajib mengganti tas A yang rusak. Ia menjadi wajib mengganti hanya jika tasnya rusak karena kecerobohan atau kelalaian yang dilakukannya.


B. Diamnya seseorang saat diperlukan (untuk berpendapat) maka itu adalah suatu penjelasan

Kaidah ini ditambahkan oleh para ulama sebagai pengecualian dari apa yang disampaikan oleh Imam Syafi`i sebelumnya. Makna kaidah ini adalah: diamnya seseorang saat keadaan mewajibkannya untuk berpendapat maka hal tersebut berarti persetujuan dan penjelasan. Di antara cabang dan penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut.

  1. Diamnya seorang wanita gadis ketika walinya meminta persetujuan atas pernikahan, maka ini dianggap sebagai keridhaan.
  2. Diamnya pemilik barang ketika barang yang ia hibahkan atau sedekahkan diambil oleh yang berhak (sebelumnya pemilik barang sudah memberitahu bahwa barang itu ia hibahkan atau sedekahkan kepada Fulan), maka ini dianggap sebagai izin untuk mengambil barang tersebut.
  3. Diamnya orang yang memiliki hak syuf'ah ketika ia mengetahui barang/tanah dijual kepada orang lain, maka ini berarti ia ridha terhadap hal tersebut dan hilanglah hak syuf'ah yang dimilikinya.[3]
  4. Diamnya suami ketika istrinya melahirkan dan justru memberi selamat atas kelahiran tersebut, maka ini berarti pengakuan bahwa anak tersebut adalah benar anaknya dan penerimaan untuk dinasabkan kepadanya. Tidak ada hak baginya di kemudian hari untuk menolak bahwa anak tersebut adalah anaknya.
  5. Seseorang dianggap menerima pengakuan (bahwa ia memiliki hutang kepada A misalnya) atau menerima untuk dijadikan wakil atau dititipkan barang jika ia tidak menolak dengan tegas. Jika ada penolakan tegas maka isyarat tanda menerima menjadi tidak teranggap karena bertentangan dengan lafadz penolakan yang jelas.
  6. Jika sebelumnya penjual telah menjelaskan cacat yang ada di barangnya dan pembeli diam saja, maka ini dianggap bahwa pembeli sudah ridha dengan cacat yang disebutkan. Dalam Pasal 341 Majalah al-Ahkam al-Adliyah disebutkan, "Jika penjual telah menyampaikan bahwa di barangnya ada cacat ini dan itu, dan pembeli menerima dengan sadar saat membelinya, maka pembeli tidak memiliki hak khiyar atas aib (cacat) tersebut. Namun jika pada barang tersebut ada cacat selain yang telah disebutkan, maka ia memiliki hak untuk mengembalikan barang tersebut kepada penjual."
  7. Seandainya orang tua/wali melihat anaknya yang sudah tamyiz melakukan jual-beli dan ia diam / tidak melarangnya, maka diamnya wali tersebut sebagai isyarat bahwa ia mengizinkan transaksi yang dilakukan oleh si anak.
  8. Diam dalam transaksi ijarah atau sewa-menyewa berarti penerimaan dan ridha. Misalnya, jika ada pemilik rumah yang berkata kepada penyewa lama, "Tinggallah di rumah ini dengan harga sewa sekian (lebih tinggi dari sebelumnya). Jika tidak bersedia, silahkan keluar dan pindah." Jika si penyewa diam dan tetap tinggal di rumah tersebut, maka ia wajib membayar uang sewa sebagaimana yang telah disebutkan oleh pemilik rumah.
  9. Jika hakim meminta pihak tertuduh untuk bersumpah dan ia diam saja, maka diamnya berarti penolakan untuk bersumpah. Menolak bersumpah --menurut pendapat terkuat-- berarti pengakuannya telah melakukan perbuatan yang dituduhkan. Allahu a'lam.
  10. Ketika penjual memiliki hak untuk menahan barang sampai semua pembayaran dilunasi, ternyata kemudian ia melihat si pembeli mengambil barang tersebut dan ia diam saja, maka diamnya penjual dianggap bahwa ia telah memberi izin kepada pembeli untuk membawa pulang barang dagangannya.

Jadi.. diam itu bukan tanpa makna.

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan syariat yang sempurna. Washallallahu ala Muhammad wa ala alihi wa shahbihi ajma`in. Semoga Allah terus melimpahkan pahalanya kepada ulama pewaris Nabi yang telah membantu kita dalam menjalankan syariat-Nya dengan berbagai kaidah yang dirumuskan..

-----
Catatan:

[1] Penjelasan kaidah disadur dari karya Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyah fi asy-Syariah al-Islamiyah, Beirut: Ar-Risalah, 1422H/2001M. Selain itu, juga dengan tambahan faidah dari kajian Ust. Aris Munandar di Masjid Pogung Dalangan, Yogyakarta.

[2] Majalah al-Ahkam al-Adliyah adalah Qanun (Undang-undang) Fiqih Mazhab Hanafi dalam bidang muamalah, dan merupakan qanun resmi negara di masa daulah Utsmaniyah. Qanun ini terus diterapkan di Iraq sampai tahun 1950.

[3] Hak syuf'ah adalah hak yang dimiliki ketika ada dua orang yang berserikat atas kepemilikan suatu tanah dan tidak ada patok batas yang jelas yang memisahkan bagian tanah keduanya. Contohnya, A dan B berserikat atas kepemilikan suatu tanah. B kemudian menjual bagian tanahnya kepada C tanpa pemberitahuan kepada A. Seharusnya yang memiliki hak pertama untuk membeli adalah A. Ketika A mengetahui bahwa B menjual bagian tanahnya kepada C, maka saat itu juga A boleh mendatangi C dan membeli paksa tanah tersebut. Hak syuf'ah ini harus digunakan langsung saat pertama kali ia mendengar berita bahwa B menjual tanahnya kepada C, dan yang dibeli paksa adalah harus semuanya, tidak boleh hanya sebagian. Jika tidak demikian, maka hilanglah hak syuf'ah dan keadaannya terserah kepada C apakah ia ingin menjual kembali tanah tersebuat ataukah tidak.



Komentar