Orang Alim itu...?Selasa, 22 Januari 2013 | CoretanBeberapa hari lalu sempat membaca diskusi menarik di grup KIPMI, dan salah satu yang ingin saya kutip adalah: Orang alim itu bukan yang bisa memilih maslahat di antara mafsadat, tapi yang bisa memilih mana yang lebih maslahat di antara dua maslahat, dan mana yang lebih ringan mafsadat di antara dua mafsadat. [Ust. Noor Ahmad, Ph.D.] Jika saya tidak salah memahami.. memang benar, jika kita dihadapkan pada pilihan antara maslahat (kebaikan) ataukah mafsadat (keburukan), adalah hal yang wajar dan seharusnya jika kita memilih maslahat. Kalau ada yang tetap memilih mafsadat, berarti ada yang salah dari orang tersebut, bisa jadi ia telah kehilangan akal sehatnya, atau mungkin saja ia dengan sengaja menentang aturan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun, masalahnya tidaklah sesederhana itu. Dalam kehidupan nyata, kita jarang menemukan suatu hal yang sifatnya murni maslahat atau murni mafsadat. [Sebelum lanjut, sedikit catatan dari saya, dikecualikan di sini bahasan tentang apa-apa yang telah pasti hukumnya dari Allah, atau hal-hal yang global (bukan pengecualian), yang menjadi hukum asal suatu perkara.] Seringkali pada suatu perkara yang kita jumpai itu tercampur antara maslahat dan mafsadat. Contoh ekstrim (mengambil contoh dari diskusi yang sama) adalah kenyataan bahwa di banyak tempat saat ini, hampir pasti kalau kita keluar rumah akan menemukan keburukan. Misalnya saja yang paling gampang, wanita yang membuka auratnya, ikhtilat (bercampurnya antara laki-laki dan perempuan), dll. Lalu, pilihan apa yang akan diambil, meninggalkan semua mafsadat dengan mengurung diri di rumah atau tetap keluar rumah? Andai pilihannya seperti di atas, harusnya yang dipilih adalah berdiam diri saja di rumah. Mungkin banyak yang akan langsung protes, "Loh masa cuma mengurung diri di rumah, saya kan harus melakukan ini, itu dst". Ya, kalau pertimbangannya hanya demikian, mungkin pilihan itu lah yang harus kita ambil. Tapi.. kondisinya tidaklah demikian. Sebagai kepala keluarga misalnya, seorang pria bisa jadi harus keluar rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Itu adalah suatu kemaslahatan yang sifatnya wajib (pada asalnya, keluar rumah itu tidaklah dilarang). Dengan demikian, pertimbangannya akan menjadi berbeda, mengambil maslahat (mencari nafkah untuk keluarga) dengan resiko mafsadat seperti yang disebutkan sebelumnya.. ataukah meninggalkan potensi mafsadat (berdiam diri di rumah) tapi dengan konsekuensi terhalangnya dari maslahat memenuhi kewajiban mencari nafkah dan justru memperoleh mafsadat lain (keluarga yang terbengkalai)? Di sini harus dipilih mana yang maslahatnya paling besar, atau yang mafsadatnya lebih sedikit. Mungkin kalau kasusnya seperti di atas, antara keluar atau mengurung diri di rumah, sebagian besar kita akan dengan mudah memilih tetap keluar rumah. Walaupun, dasar pertimbangannya bisa saja berbeda. Dengan hasil akhir keputusan yang sama, tetap saja akan berbeda antara orang yang benar-benar "alim" dan yang tidak. Apakah sama antara orang yang "ingin bebas keluar rumah hanya karena tidak ingin dikekang dan suntuk di rumah" dengan orang yang "keluar rumah demi menghidupi keluarganya"? Tentu akan berbeda. Apakah sama antara orang yang "keluar rumah untuk menghidupi keluarganya tanpa mempedulikan halal-haram pekerjaannya" dengan orang yang "berusaha memilih pekerjaan dari jalan yang halal"? Lagi-lagi, tentu saja berbeda. Menurut saya, ada satu kriteria mendasar di sini yang harus dipenuhi oleh seorang alim. Yaitu, mengetahui apa yang disebut maslahat dan mafsadat. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah maslahat dan mafsadat menurut syariat, bukan menurut ukuran hawa nafsu dan egoisme yang sempit. Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali karena pada sesuatu itu terdapat maslahat murni atau dominan maslahatnya. Walaupun maslahat itu tidak dapat kita pahami dengan akal kita saat ini, setidaknya maslahat tersebut akan kita nikmati di hari akhir, insyaaLlah. Demikian pula, tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali pada sesuatu itu terdapat mafsadat murni atau dominan mafsadatnya. Pengetahuan tentang maslahat dan mafsadat ini sifatnya menyeluruh. Misalnya, bisa membedakan mana maslahat yang wajib, sunnah dst. Selanjutnya, juga diperlukan pemahaman mana yang harus didahulukan jika berbenturan antara dua maslahat dan dua mafsadat. Saya sarankan (kepada diri saya sendiri) untuk membaca lebih detil mengenai kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh ulama' mengenai persoalan ini. Dalam kondisi-kondisi ketika ada dua maslahat dan dua mafsadat yang berbenturan inilah seorang alim benar-benar diuji kealimannya. Dan jangan heran jika seorang alim atau mufti (pemberi fatwa) memberi jawaban yang berbeda kepada orang yang berbeda, meskipun pertanyaan sama. Atau jangan heran juga jika seorang alim satu memberi jawaban yang berbeda dengan alim lainnya. Karena kondisi tiap orang tidaklah sama. Ketika kita meminta pertimbangan kepada dua orang alim misalnya, bisa jadi orang alim yang pertama memberi jawaban A karena mengetahui dengan yakin kondisi zhahir dan kejiwaan kita. Bisa jadi seorang alim yang lain memberi jawaban global B hanya berdasarkan informasi yang kita sampaikan. Contoh lain, orang yang akan masuk kerja di suatu tempat dan ternyata di tempat tersebut banyak kemungkaran, apakah harus menerima pekerjaan tersebut atau mencari alternatif lain? Bisa jadi keputusan yang diambil antara orang satu dengan lainnya juga berbeda, tergantung pertimbangan maslahat dan mafsadat. Misalnya, apakah dzat pekerjaannya sendiri yang haram ataukah hanya lingkungannya saja? Apakah dalam kondisi darurat? Apakah pekerjaan itu menyangkut hajat hidup orang banyak, yang jika diserahkan kepada orang fasik justru akan tambah berbahaya? Apakah memiliki niat dan berusaha untuk mengubah sistem dari dalam? Apakah harus saya dan saya sudah cukup memiliki benteng iman? Dan tentu saja pertimbangan maslahat dan mafsadat itu harus sejalan dengan yang diinginkan oleh syariat. --- Catatan: KIPMI = Komunitas Ilmuwan dan Profesional Muslim Indonesia. Masih berpikir kalau salah masuk grup, hehe. Tapi berhubung isinya juga orang-orang hebat jadi lanjut saja.. Semoga bisa ditulari banyak kebaikan dari sana, bisa ikut berkontribusi juga untuk umat / masyarakat, dengan atau tanpa melalui KIPMI, sesuai dengan deskripsi grup-nya "..untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa serta dakwah dengan kontribusi nyata di masyarakat sesuai dengan bidang ilmu dan profesi masing-masing". Di atas Islam yang satu.. Komentar Nurtina 18 Maret 2013 - 16:16:38 aL 18 Maret 2013 - 16:23:03 wa'alaikumussalam. insyaaLlah masih banyak. |
|
saya ingin bertanya, apkah di zaman modern seperti ini kita mash menjumpai seorang pria yg alim ?? Padahal kita ketahui pengaruh globalisasi, yg hampir merusak moral bahkan iman seseorang. . . . Trimakash,,
sebelumnya maaf jika saya bertanya seperti ini