Pembatal Puasa (2)

Rabu, 17 April 2019 | Islam
Ulama Syafiiyah telah membuat sebuah kaidah pembatal puasa, yaitu adanya suatu benda ('ain) yang masuk dari luar ke dalam tubuh, dari saluran atau tempat terbuka, dilakukan dengan sengaja dan ingat kalau sedang berpuasa. Rincian poin-poin kaidah ini sebagai berikut.

1. Adanya benda ('ain) yang masuk

Dengan disyaratkannya 'ain maka bekas atau dampak dari sesuatu tidaklah membatalkan puasa. Misalnya, bau yang tercium, rasa panas dan dinginnya air di lidah. Itu semua tidak membatalkan puasa.

Di sisi lain, hal tersebut juga mengkonsekuensikan bahwa tidak harus makanan dan minuman yang bisa membatalkan puasa. Jika uang logam, pasir atau rumput masuk ke perut, itu pun dapat membatalkan puasa.

Sisa makanan yang ada di sela-sela gigi juga termasuk di sini. Jika ditelan dengan sengaja, maka puasanya batal. Namun, jika tertelan bersamaan dengan liur tanpa sengaja, atau tertelan karena memang tidak bisa memisahkan dan melepehnya maka tidak membatalkan puasa.

Yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah tentang menelan dahak (lendir di saluran pernapasan).

Jika dahak tersebut turun dari atas (kepala) langsung ke tenggorokan, tidak masuk atau melewati area mulut, maka tidak mengapa dan puasanya tidak batal. Area mulut yang dimaksud oleh ulama di sini adalah dimulai dari tempat keluarnya (makhraj) huruf ha' (ح).

Bagaimana jika ada dahak yang sempat keluar atau memasuki area mulut?
  • Jika ia tidak sanggup untuk memotong dan melepehnya hingga akhirnya tertelan maka tidak mengapa.
  • Jika ia sebenarnya bisa melepehnya namun tetap menelan dahak tersebut, maka puasanya batal menurut jumhur ulama.

Adapun tentang menelan liur..
Jika yang ditelan adalah air liur orang lain (ketika berciuman dengan istri misalnya), maka puasanya batal.
Namun, jika yang ditelan adalah air liur sendiri, maka puasanya tidak batal dengan sepakat ulama (ijma'). Bahkan seandainya ia mengumpulkan liur di mulut sampai agak banyak lalu ditelan, maka tidak mengapa (tapi lebih baik dihindari). Namun, bolehnya menelan liur sendiri ini dipersyaratkan dua hal :
  • Liurnya tidak bercampur dengan zat lainnya, misal: darah.
  • Liur tersebut belum sempat keluar dari area mulut. Termasuk seandainya liur tersebut sudah sampai di ujung bibir, lalu ditelan kembali, maka ini tidak boleh.


2. Benda ('ain) tersebut sampai ke dalam tubuh

Ini adalah poin kedua dari kaidah pembatal puasa. Ulama mengistilahkan bagian dalam tubuh ini dengan nama jauf (rongga). Yang termasuk jauf adalah kepala, tenggorokan (saluran pencernaan), kerongkongan (saluran pernapasan), lambung, usus dan kandung kemih. Ulama Syafiiyah lainnya membuat definisi yang lebih sederhana tentang jauf, yaitu mulai dari akhir bagian mulut (atau awal tenggorokan) terus turun sampai dua lubang kemaluan dan dubur. Lalu ditambahkan juga rongga kepala.

Jika ada benda yang masuk sampai jauf, puasanya batal. Jika tidak sampai jauf, maka tidak batal.

Jadi, jika mengalirkan atau memasukkan sesuatu melalui hidung dan sampai ke bagian dalam kepala, maka batal puasanya. Demikian pula jika memasukkan cairan ke telinga dan cairan tersebut sampai ke bagian dalam kepala, maka puasanya juga batal menurut pendapat terkuat di kalangan Syafiiyah. Puasanya batal baik cairan tersebut terasa di tenggorokan ataupun tidak. Sebab, bagian dalam kepala juga termasuk jauf.

Demikian pula misalnya pengobatan dengan memasukkan cairan melalui anus atau lubang kemaluan, maka hal tersebut membatalkan puasa.

Sama halnya ketika perut terluka atau kepala robek. Kemudian diberi obat, dan obat tersebut sampai ke jauf, maka puasanya batal.

Hal ini juga berlaku ketika seseorang menusuk dirinya sendiri dengan pisau, atau meminta orang lain untuk menusuknya, kemudian pisau tersebut sampai ke bagian jauf atau otaknya, maka puasanya batal.


bersambung..


--
Referensi:
Kajian kitab Fiqhush-Shiyam karya Dr. Muhammad Hasan Haitu
oleh ustadz Aris Munandar



Komentar