Tuntunan Shalat Tarawih

Kamis, 27 Februari 2014 | Islam
Shalat tarawih adalah shalat sunnah yang dikerjakan di malam-malam bulan Ramadhan. Dari sisi hukum dan tata-cara, shalat ini tidak berbeda dengan shalat malam atau shalat tahajud yang dikerjakan selain di bulan Ramadhan. Hukum shalat tarawih adalah sunnah, baik untuk pria maupun wanita. Di antara dalil pensyariatannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah radhiyallahu anha.

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti dan shalat di belakang beliau. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak, lalu mereka ikut shalat bersama beliau. Pagi harinya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian orang-orang yang hadir di masjid makin bertambah banyak lagi pada malam ketiga. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar untuk shalat, dan mereka pun shalat bersama beliau. Kemudian pada malam keempat, masjid sudah penuh dengan jamaah hingga akhirnya beliau hanya keluar untuk shalat shubuh. Setelah beliau selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada orang banyak, kemudian membaca syahadat dan bersabda, “Amma ba’du, bukannya aku tidak tahu keberadaan kalian (semalam), akan tetapi aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu”.” [muttafaq alaih]

Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah di masjid selama tiga hari berturut-turut. Pada hari keempat dan seterusnya beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak berangkat ke masjid untuk shalat tarawih karena khawatir hal itu akan dianggap sebagai kewajiban.

Ketika sebab kekhawatiran tersebut sudah tidak ada atau hilang, maka sunnah ini pun dihidupkan kembali, yaitu di masa khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu anhu. Pada awalnya, orang-orang ada yang shalat tarawih sendirian dan ada juga yang berjamaah (namun terbagi dalam beberapa kelompok secara terpisah). Kemudian, Umar mengumpulkan mereka semua dalam satu jamaah dan menjadikan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhu sebagai imamnya [1]. Hal seperti ini kemudian terus berlangsung hingga zaman sekarang.

Keutamaan Shalat Tarawih

Bulan Ramadhan adalah bulan di mana segala pahala amal kebaikan akan dilipatgandakan. Karena itulah shalat tarawih yang dikerjakan pada malam hari bulan Ramadhan termasuk salah satu shalat sunnah yang paling utama. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menjanjikan ampunan bagi mereka yang mengerjakan shalat tarawih dengan ikhlas.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadhan (dengan shalat malam) karena iman dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [muttafaq alaih]

Waktu Shalat Tarawih

Waktu pelaksanaan shalat tarawih amatlah longgar, yaitu dimulai setelah selesai melaksanakan shalat isya hingga menjelang terbit fajar (waktu shubuh). Shalat ini boleh dikerjakan di awal malam (setelah isya), di tengah malam, maupun di akhir malam.

Jumlah Rakaat

Jumlah rakaat shalat malam (termasuk shalat tarawih) yang dianjurkan adalah 11 (sebelas) atau 13 (tiga belas) rakaat. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha.

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Rasul shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambah rakaat shalat malam lebih dari sebelas rakaat, baik itu di bulan Ramadhan maupun selainnya.” [muttafaq alaih]

Terdapat juga riwayat lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat sebanyak 13 rakaat.

كَانَتْ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat sebanyak tiga belas rakaat (dalam satu malam).” [HR Al-Bukhari No. 1138]

Sebagian ulama mengkompromikan dua riwayat ini dengan mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetaplah sebelas rakaat. Sedangkan dua rakaat tambahannya adalah dua rakaat ringan ketika bangun tidur sebagai pembuka atau pemanasan untuk shalat malam. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Hajar [2].

Walaupun begitu, jika ingin menambah lebih dari 11 atau 13 rakaat maka tidaklah mengapa [3], karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika ditanya tentang shalat malam maka beliau menjawab:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua rakaat - dua rakaat. Jika kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah ia shalat witir satu rakaat sebagai penutup shalat yang telah dilakukannya.” [HR Al-Bukhari No. 990]

Tata Cara Shalat Tarawih

Shalat tarawih dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya sebagai berikut.

Cara pertama, shalat sebanyak 13 rakaat.
a. Dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau pendek.
b. Shalat 10 rakaat dengan salam pada setiap 2 rakaat.
c. Shalat witir sebanyak 1 rakaat.

Cara kedua, shalat sebanyak 11 rakaat, salam setiap 2 rakaat.
a. Shalat 10 rakaat dengan salam pada setiap 2 rakaat.
b. Shalat witir 1 rakaat.

Cara ketiga, shalat sebanyak 11 rakaat, salam setiap 4 rakaat.
a. Shalat tarawih 8 rakaat dengan salam pada setiap 4 rakaat.
b. Shalat witir 3 rakaat dengan 1 kali salam.

Setiap selesai 4 (empat) rakaat disyariatkan untuk duduk istirahat. Namun, jika tanpa duduk istirahat juga tidak mengapa. Perlu diperhatikan juga, tidak ada anjuran untuk membaca doa atau dzikir tertentu saat duduk istirahat ini.

Pada rakaat terakhir shalat witir terdapat anjuran untuk melakukan qunut. Qunut ini dapat dilakukan sebelum ruku’ (setelah membaca al-fatihah dan surat), dan dapat pula dilakukan setelah bangkit dari ruku’. Doa qunut yang pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepadanya cucunya Al-Hasan bin Ali radhiyallahu anhuma adalah sebagai berikut.

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

“Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk. Berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan. Uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus. Berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku. Lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau yang memutuskan, dan tidak diputuskan terhadap-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau naungi. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi.” [HR An-Nasa`i No. 1745 dan selainnya]

Kemudian, di akhir shalat witir (setelah salam) disunnahkan untuk membaca “Subhanal-Malikil-Quddus” sebanyak 3 (tiga) kali [4].

Bolehkah Shalat Sunnah Lagi Setelah Witir?

Diperbolehkan bagi yang ingin menambah shalat sunnah walaupun sebelumnya telah melakukan shalat witir. Namun, tidak perlu shalat witir untuk kedua kalinya lagi. Hal ini berdasarkan beberapa hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam berikut.

كَانَ يُصَلِّي ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يُوتِرُ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam sebanyak 13 rakaat. Beliau shalat 8 rakaat lalu shalat witir. Kemudian beliau shalat lagi 2 rakaat sambil duduk. Jika ingin ruku’, maka beliau berdiri lalu ruku’. Kemudian beliau juga shalat 2 rakaat di antara adzan dan iqamah shalat shubuh.” [HR Muslim 1/509 No. 738]

إِنَّ هَذَا السَّفَرَ جَهْدٌ وَثِقَلٌ، فَإِذَا أَوْتَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ، وَإِلَّا كَانَتَا لَهُ

“Sesungguhnya safar ini sulit dan berat. Jika kalian telah shalat witir, hendaklah ruku’ (shalat) dua rakaat. Jika bisa bangun malam (maka dapat shalat lagi). Namun jika tidak, maka dua rakaat tersebut telah mencukupi.” [Shahih Ibnu Khuzaimah No. 1106] [5]

Hal ini tidaklah bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam [6], karena perintah tersebut merupakan anjuran dan bukan kewajiban.

Shalat Tarawih Berjamaah

Shalat tarawih boleh dikerjakan berjamaah maupun secara bersendirian. Menurut jumhur ulama, yang lebih utama adalah dikerjakan secara berjamaah di masjid [7]. Hal ini pun pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana hadits yang telah lewat di depan. Selain itu, pahala yang dijanjikan bagi mereka yang melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah amatlah besar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam berikut.

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Barangsiapa yang shalat malam bersama imam hingga selesai maka dicatat baginya seperti melakukan shalat semalam suntuk.” [HR Tirmidzi No. 806]

Namun perlu diingat, keutamaan ini hanya didapat oleh mereka yang shalat bersama imam sampai selesai. Karenanya sudah sepantasnyalah bagi setiap muslim untuk menjaga shalat tarawih secara berjamaah di masjid, mengikuti imam dari awal hingga salam pada rakaat terakhir.

Sebagian kekeliruan yang sering kita jumpai di masyarakat adalah mereka hanya shalat tarawih 8 rakaat bersama imam, kemudian pulang dan tidak ikut shalat witir bersama imam. Mereka beralasan ingin menambah rakaat shalat malam sekaligus witir di rumah. Hal ini kuranglah tepat, karena justru akan menyebabkan hilangnya sebuah keutamaan yang besar, yang setara dengan shalat semalam suntuk.

Sebaiknya makmum mengikuti imam sampai selesai witir. Jika setelah itu ia ingin shalat sunnah lagi di rumah maka itu dibolehkan, namun tidak perlu witir lagi untuk kedua kalinya. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Allahu a’lam.

---
Endnote:
  1. Shahih Al-Bukhari No. 2010 dan Muwatha` Malik No. 3
  2. Ibnu Hajar, Fathul-Bari (Beirut: Darul-Ma’rifah), jilid 3, h. 21. [Maktabah Syamilah]
  3. Namun tetap yang lebih utama adalah shalat sesuai dengan jumlah rakaat yang terdapat dalam sunnah, yaitu sebelas rakaat.
  4. HR An-Nasa`i No. 1729
  5. Ditakhrij juga oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah No. 1993
  6. HR Al-Bukhari No. 998 dan Muslim 1/517
  7. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: Al Ma’arif, 1997), jilid 2, h. 63.

EOF



Komentar